IMPOTENSI, dari dulu sampai sekarang, masih menjadi momok bagi kaum pria di seantero dunia. Di Amerika Serikat diperkirakan ada sekitar 20 juta laki-laki yang mengidap penyakit lemah syahwat tersebut. Di Indonesia penderita impotensi diduga mencapai 10% dari penduduk pria berusia dewasa. Bagi kaum pria, masalah impotensi ini memang merupakan hal sensitif. Soalnya, kemampuan seks mereka suka diidentikkan dengan simbol keperkasaan laki-laki. Maka bermacam cara akan mereka tempuh agar tetap "jantan".
Sering ramuan tradisional hingga dukun urut menjadi tumpuan harapan kaum laki-laki ketika gejala-gejala berkurangnya potensi syahwat mulai dirasakan. "Menurunnya potensi seksual suatu saat pasti akan dialami oleh setiap orang, seiring dengan bertambahnya umur," kata Profesor Arif Adimoelja, ahli biologi kedokteran, Universitas Airlangga, Surabaya, yang mencermati masalah impotensi pria.
Impotensi atau disfungsi ereksi, menurut istilah kedokteran, adalah terjadinya kesukaran atau ketidakmampuan seorang pria untuk memperoleh ketegangan dan kekerasan penis yang wajar, sehingga yang bersangkutan tidak mampu melakukan penetrasi intravaginal (bersanggama) dengan sempurna disertai ejakulasi. "Sebenarnya hanya 10% gangguan disfungsi ereksi yang belum diketahui penyebabnya, dan dianggap sebagai disfungsi ereksi yang murni psikologis," ujar Adimoelja. Ia menambahkan, dengan kemajuan teknologi, hampir semua kasus impotensi dapat dijelaskan sebagai gangguan fisik organik. Dengan kata lain, kegagalan ereksi hampir pasti disebabkan oleh gangguan fisik, sementara faktor psikologis yang menyertainya dianggap dapat makin memperburuk disfungsi ereksi.
Adapun penyebab utama impotensi, sepanjang yang diketahui selama ini, adalah penyakit kencing manis (Diabetes mellitus), yaitu 33%. Setelah itu menyusul akibat gangguan pembuluh darah (20%-25%), akibat operasi di daerah pinggul (10%), akibat trauma -- termasuk kerusakan sumsum tulang belakang -- (8%), akibat efek samping obat dalam suatu pengobatan (8%), akibat gangguan hormonal (3%-6%), akibat berbagai penyakit, seperti sklerosis ganda, sel sabit anemia (1%-3%), dan akibat penyalahgunaan obat-obatan (7%).
Impotensi pada penderita diabetes lebih disebabkan oleh gangguan keseimbangan metabolisme. Diabetes sendiri adalah penyakit gangguan metabolisme tubuh, yakni kegagalan mengurai gula dalam darah. Ketidaksempurnaan metabolisme tubuh itu mendorong terjadinya komplikasi, seperti vaskulopati (gangguan pembuluh darah), neuropati (gangguan persarafan), dan miopati (gangguan sel otot). Ketiga faktor itu, seperti diketahui, memegang peranan utama dalam proses ereksi penis seorang pria.
Sekarang pengobatan impotensi cenderung difokuskan pada penanggulangan kesalahan mekanisme terjadinya ereksi. "Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa proses ereksi itu terjadi karena pembuluh nadi menyuplai darah ke jaringan korpus kavernosa penis. Pada saat yang sama, pembuluh darah vena penis mengalami penyempitan, sehingga penis mengembang dan mencapai kekerasan tertentu yang memungkinkan seorang pria melakukan penetrasi intravaginal," kata Akmal Taher, ahli urologi pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Mekanisme suplai darah ke penis dalam proses ereksi inilah yang kini menjadi pusat perhatian para dokter untuk menanggulangi impotensi. Prosedur pemakaian senyawa vasoaktif yang disuntikkan secara intrakorporal (ke jaringan korpus kavernosa) menjadi pilihan pertama untuk pengobatan disfungsi ereksi. "Melakukan prosedur pembedahan ke jaringan penis ini memerlukan tingkat kecermatan yang tinggi. Metode ini masih sulit dilakukan di Indonesia," kata Profesor Adimoelja.
Itu sebabnya prosedur pengobatan farmakoterapi dengan penyuntikan senyawa vasoaktif ke penis lebih populer saat ini. Prosedur ini diramalkan akan menggeser metode pemakaian alat mekanis, seperti pompa vakum. Senyawa vasoaktif ini berfungsi merelaksasi jaringan otot polos, sehingga akan meningkatkan aliran darah ke penis. Senyawa ini diyakini dapat mengobati disfungsi ereksi, baik yang disebabkan oleh neurologis, vaskuler, maupun psikologis.
Senyawa vasoaktif ini dipergunakan pertama kali oleh Virag pada 1982. Virag mempergunakan papaverine dan phentolamine. "Sebetulnya kedua senyawa vasoaktif tersebut lebih sering dipakai untuk mengobati penyakit jantung," kata Adimoelja. Lantaran sifatnya yang mampu merelaksasi otot polos sehingga memperlancar aliran darah, obat ini pun dimanfaatkan untuk mengobati impotensi. Kedua senyawa itu belakangan dianggap punya efek samping yang cukup merepotkan, yakni terjadinya ereksi berkepanjangan (priapisme). Selain itu, sebagian besar pasien yang disuntik vasoaktif mengeluh kesemutan di bagian penis mereka.
Untuk mengatasi kekurangan pada papaverine dan phentolamine, awal tahun ini pabrik farmasi UpJohn, yang berpusat di London, meluncurkan produk baru, Caverject, yang berisi senyawa alpostradil (prostaglandin E1). Prostaglandin, yang baru-baru ini diperkenalkan di Indonesia, sebenarnya sudah digunakan untuk mengobati kegagalan ereksi sejak satu dasawarsa lalu. UpJohn menyempurnakannya dengan meracik prostaglandin generasi E1, yang memiliki PH 4-6, sehingga diharapkan mengurangi efek samping rasa sakit di penis ketika disuntikkan.
Metode penyuntikan disukai pasien karena praktis dan dapat dilakukan sendiri. "Cuma yang harus diingat, sampai saat ini belum ada obat injeksi yang ideal, yakni bersifat nontoksik (bebas racun) dan stabil," kata Dr. E.J. Keogh, Direktur Reproductive Medicine Research Institute di Australia Barat.
Impotensi atau disfungsi ereksi, menurut istilah kedokteran, adalah terjadinya kesukaran atau ketidakmampuan seorang pria untuk memperoleh ketegangan dan kekerasan penis yang wajar, sehingga yang bersangkutan tidak mampu melakukan penetrasi intravaginal (bersanggama) dengan sempurna disertai ejakulasi. "Sebenarnya hanya 10% gangguan disfungsi ereksi yang belum diketahui penyebabnya, dan dianggap sebagai disfungsi ereksi yang murni psikologis," ujar Adimoelja. Ia menambahkan, dengan kemajuan teknologi, hampir semua kasus impotensi dapat dijelaskan sebagai gangguan fisik organik. Dengan kata lain, kegagalan ereksi hampir pasti disebabkan oleh gangguan fisik, sementara faktor psikologis yang menyertainya dianggap dapat makin memperburuk disfungsi ereksi.
Adapun penyebab utama impotensi, sepanjang yang diketahui selama ini, adalah penyakit kencing manis (Diabetes mellitus), yaitu 33%. Setelah itu menyusul akibat gangguan pembuluh darah (20%-25%), akibat operasi di daerah pinggul (10%), akibat trauma -- termasuk kerusakan sumsum tulang belakang -- (8%), akibat efek samping obat dalam suatu pengobatan (8%), akibat gangguan hormonal (3%-6%), akibat berbagai penyakit, seperti sklerosis ganda, sel sabit anemia (1%-3%), dan akibat penyalahgunaan obat-obatan (7%).
Impotensi pada penderita diabetes lebih disebabkan oleh gangguan keseimbangan metabolisme. Diabetes sendiri adalah penyakit gangguan metabolisme tubuh, yakni kegagalan mengurai gula dalam darah. Ketidaksempurnaan metabolisme tubuh itu mendorong terjadinya komplikasi, seperti vaskulopati (gangguan pembuluh darah), neuropati (gangguan persarafan), dan miopati (gangguan sel otot). Ketiga faktor itu, seperti diketahui, memegang peranan utama dalam proses ereksi penis seorang pria.
Sekarang pengobatan impotensi cenderung difokuskan pada penanggulangan kesalahan mekanisme terjadinya ereksi. "Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa proses ereksi itu terjadi karena pembuluh nadi menyuplai darah ke jaringan korpus kavernosa penis. Pada saat yang sama, pembuluh darah vena penis mengalami penyempitan, sehingga penis mengembang dan mencapai kekerasan tertentu yang memungkinkan seorang pria melakukan penetrasi intravaginal," kata Akmal Taher, ahli urologi pada Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Mekanisme suplai darah ke penis dalam proses ereksi inilah yang kini menjadi pusat perhatian para dokter untuk menanggulangi impotensi. Prosedur pemakaian senyawa vasoaktif yang disuntikkan secara intrakorporal (ke jaringan korpus kavernosa) menjadi pilihan pertama untuk pengobatan disfungsi ereksi. "Melakukan prosedur pembedahan ke jaringan penis ini memerlukan tingkat kecermatan yang tinggi. Metode ini masih sulit dilakukan di Indonesia," kata Profesor Adimoelja.
Itu sebabnya prosedur pengobatan farmakoterapi dengan penyuntikan senyawa vasoaktif ke penis lebih populer saat ini. Prosedur ini diramalkan akan menggeser metode pemakaian alat mekanis, seperti pompa vakum. Senyawa vasoaktif ini berfungsi merelaksasi jaringan otot polos, sehingga akan meningkatkan aliran darah ke penis. Senyawa ini diyakini dapat mengobati disfungsi ereksi, baik yang disebabkan oleh neurologis, vaskuler, maupun psikologis.
Senyawa vasoaktif ini dipergunakan pertama kali oleh Virag pada 1982. Virag mempergunakan papaverine dan phentolamine. "Sebetulnya kedua senyawa vasoaktif tersebut lebih sering dipakai untuk mengobati penyakit jantung," kata Adimoelja. Lantaran sifatnya yang mampu merelaksasi otot polos sehingga memperlancar aliran darah, obat ini pun dimanfaatkan untuk mengobati impotensi. Kedua senyawa itu belakangan dianggap punya efek samping yang cukup merepotkan, yakni terjadinya ereksi berkepanjangan (priapisme). Selain itu, sebagian besar pasien yang disuntik vasoaktif mengeluh kesemutan di bagian penis mereka.
Untuk mengatasi kekurangan pada papaverine dan phentolamine, awal tahun ini pabrik farmasi UpJohn, yang berpusat di London, meluncurkan produk baru, Caverject, yang berisi senyawa alpostradil (prostaglandin E1). Prostaglandin, yang baru-baru ini diperkenalkan di Indonesia, sebenarnya sudah digunakan untuk mengobati kegagalan ereksi sejak satu dasawarsa lalu. UpJohn menyempurnakannya dengan meracik prostaglandin generasi E1, yang memiliki PH 4-6, sehingga diharapkan mengurangi efek samping rasa sakit di penis ketika disuntikkan.
Metode penyuntikan disukai pasien karena praktis dan dapat dilakukan sendiri. "Cuma yang harus diingat, sampai saat ini belum ada obat injeksi yang ideal, yakni bersifat nontoksik (bebas racun) dan stabil," kata Dr. E.J. Keogh, Direktur Reproductive Medicine Research Institute di Australia Barat.
0 komentar:
Posting Komentar