Seruan Bersama
Untuk menegakkan syariat Islam
secara kaffah, menjaga nilai budaya dan adat istiadat masyarakat Aceh dalam pergaulan sehari-hari, serta sebagai wujud upaya Pemerintah Kota Lhokseumawe mencegah maksiat secara terbuka, maka dengan ini pemerintah mengimbau kepada semua masyarakat di wilayah Lhokseumawe agar; 1. Perempuan dewasa yang dibonceng dengan sepeda motor oleh laki-laki muhrim, bukan muhrim, suami, maupun sesama perempuan, agar tidak duduk secara mengangkang (duek phang) kecuali dengan kondisi terpaksa (darurat).
2. Di atas kendaraan baik sepeda motor, mobil, dan/atau kendaraan lainnya, dilarang bersikap tidak sopan seperti berpelukan, berpegang-pegangan dan/atau cara lain yang melanggar syariat Islam, budaya dan adat istiadat masyarakat Aceh.
3. Bagi laki-laki maupun perempuan agar tidak melintasi tempat-tempat umum dengan memakai busana yang tidak menutup aurat, busana ketat dan hal-hal lain yang melanggar syariat Islam dan tata kesopanan dalam berpakaian.
4. Kepada seluruh Geucik, imam mukim, camat, pimpinan instansi pemerintah atau lembaga swasta agar dapat menyampaikan seruan ini kepada seluruh bawahannya serta kepada semua lapisan masyarakat.
Demikian imbauan ini kami sampaikan untuk dapat dilaksanakan dengan penuh kesadaran dalam upaya menegakkan syariat Islam.
Lhokseumawe, 7 Januari 2013
Ditandatangani oleh
Walikota Lhokseumawe Suaidi Yahya
Ketua DPRK Kota Lhokseumawe Saifuddin Yunus
Ketua MPU Lhokseumawe Tgk H Asnawi Abdullah
Ketua MAA Lhokseumawe Tgk H Usman Budiman
Pakar hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yordan Gunawan menilai peraturan daerah tentang larangan duduk 'ngangkang' untk perempuan saat naik sepeda motor, perlu dikaji ulang.
Perda larangan duduk 'ngangkang' itu ditetapkan Pemerintah Kota Lhokseumawe, Aceh. "Kaji ulang peraturan daerah (perda) itu diperlukan. Karena dalam syariat Islam tidak ada perintah atau larangan bagi perempuan untuk duduk mengangkang di atas sepeda motor," katanya di Yogyakarta, Rabu (9/1).
Selain itu, menurut dia, duduk menyamping bagi perempuan saat menaiki sepeda motor tidak lebih aman dari duduk 'ngangkang'.
"Bahkan, di negara tetangga Indonesia seperti Malaysia, peraturan yang dianjurkan bagi perempuan saat menaiki sepeda motor adalah duduk mengangkang," kata Yordan.
Menuruthnya konten dari perda itu sebenarnya cukup baik, karena mengatur masalah pergaulan pemuda-pemudi. Namun, yang menjadi masalah adalah larangan posisi duduk di atas sepeda motor tersebut.
"Oleh karena itu perlu juga diketahui bagaimana penerimaan masyarakat dengan keberadaan perda tersebut. Perda itu harus dikaji ulang untuk mengetahui penerimaan masyarakat Lhokseumawe," katanya.
Direktur International Program for Law and Sharia (Ipols) Fakultas Hukum (FH) UMY itu berpendapat, secara sosiologis Aceh memang memiliki pilar Islam, unsur keistimewaan, dan adat istiadat yang dipegang dalam mengatur kehidupan masyarakat sehari-hari.
Tidak kurang tokoh-tokoh nasional dan media internasional ikut menyorot. Aturan ini dianggap sangat diskriminatif terhadap perempuan.
Di level Aceh, aturan ini mendapat berbagai respons positif dari perempuan di sana. Untuk kebaikan bersama, perempuan di Lhokseumawe menyambut baik seruan tersebut.
“Atas nama dan untuk kebaikan masyarakat, kami menyambut dan mendukung seruan tersebut,” ujar Rini Eliany, tokoh perempuan yang juga Ketua Pengurus Daerah Persaudaraan Muslimah (Salimah) Lhokseumawe.
Menurut perempuan yang sering mengisi majlis taklim ibu-ibu ini, seruan itu mengandung sisi positif bagi para Muslimah.
“Salah satu sisi positifnya, aturan itu bisa membatasi ruang gerak mereka yang bukan muhrim saat berboncengan,” katanya saat dihubungi kontributor ROL, Teuku Zulkhairi, di Lhokseumawe, Kamis (10/1).
Sementara itu, Asmaul Husna, mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe mengatakan, seharusnya penegakan syariat Islam tidak sedangkal itu.
“Mungkin imbauannya seharusnya lebih kepada yang bukan muhrim untuk tidak pergi berduaan dengan attitude yang tidak terjaga,” ujarnya.
“Jika seorang perempuan tidak duduk mengangkang, tapi pergi dengan nonmuhrim, berpelukan dan sebagainya. Saya rasa itu sama saja lebih tidak bersyariat ketimbang perempuan yang duduk mengangkang dengan pakaian yang sopan dan pergi dengan mahramnya,” tambah Asma.
Di sisi lain, ia berharap agar Walikota Lhokseumawe, Suadi Yahya, yang merupakan politisi Partai Aceh ini, tidak membuat aturan hanya untuk mengalihkan isu atas belum adanya progress berarti setelah beberapa bulan menjabat sebagai walikota.
“Dan jika memang peduli pada masalah perempuan, mungkin hal yang harus lebih diutamakan adalah memberdayakan perempuan, terutama di bidang pendidikan,” usulnya.
Namun demikian, Asma bisa menerima aturan itu. “Pada dasarnya, saya bisa menangkap maksud positif dari seruan tersebut, karena melihat pemandangan duduk mengangkang pasangan yang bukan muhrim memang sangat mengganggu,” ujarny
Untuk menegakkan syariat Islam
secara kaffah, menjaga nilai budaya dan adat istiadat masyarakat Aceh dalam pergaulan sehari-hari, serta sebagai wujud upaya Pemerintah Kota Lhokseumawe mencegah maksiat secara terbuka, maka dengan ini pemerintah mengimbau kepada semua masyarakat di wilayah Lhokseumawe agar; 1. Perempuan dewasa yang dibonceng dengan sepeda motor oleh laki-laki muhrim, bukan muhrim, suami, maupun sesama perempuan, agar tidak duduk secara mengangkang (duek phang) kecuali dengan kondisi terpaksa (darurat).
2. Di atas kendaraan baik sepeda motor, mobil, dan/atau kendaraan lainnya, dilarang bersikap tidak sopan seperti berpelukan, berpegang-pegangan dan/atau cara lain yang melanggar syariat Islam, budaya dan adat istiadat masyarakat Aceh.
3. Bagi laki-laki maupun perempuan agar tidak melintasi tempat-tempat umum dengan memakai busana yang tidak menutup aurat, busana ketat dan hal-hal lain yang melanggar syariat Islam dan tata kesopanan dalam berpakaian.
4. Kepada seluruh Geucik, imam mukim, camat, pimpinan instansi pemerintah atau lembaga swasta agar dapat menyampaikan seruan ini kepada seluruh bawahannya serta kepada semua lapisan masyarakat.
Demikian imbauan ini kami sampaikan untuk dapat dilaksanakan dengan penuh kesadaran dalam upaya menegakkan syariat Islam.
Lhokseumawe, 7 Januari 2013
Ditandatangani oleh
Walikota Lhokseumawe Suaidi Yahya
Ketua DPRK Kota Lhokseumawe Saifuddin Yunus
Ketua MPU Lhokseumawe Tgk H Asnawi Abdullah
Ketua MAA Lhokseumawe Tgk H Usman Budiman
Pakar hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yordan Gunawan menilai peraturan daerah tentang larangan duduk 'ngangkang' untk perempuan saat naik sepeda motor, perlu dikaji ulang.
Perda larangan duduk 'ngangkang' itu ditetapkan Pemerintah Kota Lhokseumawe, Aceh. "Kaji ulang peraturan daerah (perda) itu diperlukan. Karena dalam syariat Islam tidak ada perintah atau larangan bagi perempuan untuk duduk mengangkang di atas sepeda motor," katanya di Yogyakarta, Rabu (9/1).
Selain itu, menurut dia, duduk menyamping bagi perempuan saat menaiki sepeda motor tidak lebih aman dari duduk 'ngangkang'.
"Bahkan, di negara tetangga Indonesia seperti Malaysia, peraturan yang dianjurkan bagi perempuan saat menaiki sepeda motor adalah duduk mengangkang," kata Yordan.
Menuruthnya konten dari perda itu sebenarnya cukup baik, karena mengatur masalah pergaulan pemuda-pemudi. Namun, yang menjadi masalah adalah larangan posisi duduk di atas sepeda motor tersebut.
"Oleh karena itu perlu juga diketahui bagaimana penerimaan masyarakat dengan keberadaan perda tersebut. Perda itu harus dikaji ulang untuk mengetahui penerimaan masyarakat Lhokseumawe," katanya.
Direktur International Program for Law and Sharia (Ipols) Fakultas Hukum (FH) UMY itu berpendapat, secara sosiologis Aceh memang memiliki pilar Islam, unsur keistimewaan, dan adat istiadat yang dipegang dalam mengatur kehidupan masyarakat sehari-hari.
Seorang wanita duduk di sepeda motor seperti halnya pria, saat melintas di depan Masjid Agung Islamic Centre Lhokseumawe, Provinsi Aceh, Senin (7/1).
Seruan bersama yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh, untuk menjaga tatakrama berkendaraan mendapat respons yang cukup beragam dari berbagai kalangan. Tidak kurang tokoh-tokoh nasional dan media internasional ikut menyorot. Aturan ini dianggap sangat diskriminatif terhadap perempuan.
Di level Aceh, aturan ini mendapat berbagai respons positif dari perempuan di sana. Untuk kebaikan bersama, perempuan di Lhokseumawe menyambut baik seruan tersebut.
“Atas nama dan untuk kebaikan masyarakat, kami menyambut dan mendukung seruan tersebut,” ujar Rini Eliany, tokoh perempuan yang juga Ketua Pengurus Daerah Persaudaraan Muslimah (Salimah) Lhokseumawe.
Menurut perempuan yang sering mengisi majlis taklim ibu-ibu ini, seruan itu mengandung sisi positif bagi para Muslimah.
“Salah satu sisi positifnya, aturan itu bisa membatasi ruang gerak mereka yang bukan muhrim saat berboncengan,” katanya saat dihubungi kontributor ROL, Teuku Zulkhairi, di Lhokseumawe, Kamis (10/1).
Sementara itu, Asmaul Husna, mahasiswi Ilmu Komunikasi Universitas Malikussaleh (Unimal) Lhokseumawe mengatakan, seharusnya penegakan syariat Islam tidak sedangkal itu.
“Mungkin imbauannya seharusnya lebih kepada yang bukan muhrim untuk tidak pergi berduaan dengan attitude yang tidak terjaga,” ujarnya.
“Jika seorang perempuan tidak duduk mengangkang, tapi pergi dengan nonmuhrim, berpelukan dan sebagainya. Saya rasa itu sama saja lebih tidak bersyariat ketimbang perempuan yang duduk mengangkang dengan pakaian yang sopan dan pergi dengan mahramnya,” tambah Asma.
Di sisi lain, ia berharap agar Walikota Lhokseumawe, Suadi Yahya, yang merupakan politisi Partai Aceh ini, tidak membuat aturan hanya untuk mengalihkan isu atas belum adanya progress berarti setelah beberapa bulan menjabat sebagai walikota.
“Dan jika memang peduli pada masalah perempuan, mungkin hal yang harus lebih diutamakan adalah memberdayakan perempuan, terutama di bidang pendidikan,” usulnya.
Namun demikian, Asma bisa menerima aturan itu. “Pada dasarnya, saya bisa menangkap maksud positif dari seruan tersebut, karena melihat pemandangan duduk mengangkang pasangan yang bukan muhrim memang sangat mengganggu,” ujarny
0 komentar:
Posting Komentar